Kasepuhan Adat Sinnaresmi, dan Segenap Keunikannya
Oleh: Yesi Sopariah
[31/12/2018] Puluhan rumah di kampung Garehong, Desa Cimapag, Kabupaten Sukabumi tertimbun longsor.
Berita tersebut menjadi salah satu alasan mengapa kami, Mahasiswa Pendidikan Geografi 2018 memilih Desa Cimapag, Kabupaten Sukabumi sebagai lokasi pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Tahap 1. KKL sebagai ajang implementasi hasil perkuliahan merupakan kesempatan yang tepat untuk mengembangkan analisis interpretasi, menilai hubungan kausal, dan solusi tepat yang kiranya dapat diwujudkan disamping praktik lapangan. Adapun tema yang diangkat pada KKL tahun 2019 ini adalah ‘Mitigasi Bencana’.Meski bukan kali pertama kami berangkat ke tempat yang terkenal dengan mitologi Nyi Roro Kidulnya itu, tetap saja perjalanan ini terasa mendebarkan. Terlebih karena kami sadar bahwa yang kami lakukan disana bukan sekedar rekreasi semata. Ada tugas yang harus di tuntaskan, ada pengetahuan yang belum disalurkan dan ada pertolongan yang belum diberikan. Bagaimanapun, Sinnaresmi bukanlah tempat yang cukup layak untuk dijadikan sebagai lokasi dilakukannya swafoto mengingat bencana tempo hari.
Sukabumi adalah tempat tinggalnya orang-orang tangguh.
Tempat ini berhasil meninggalkan prasasti di benak saya. Perjalanan menuju ‘Kerajaan Sang Ratu berlaga diatas tahtanya’ juga etika penduduk yang ramah dan sangat menjaga adat istiadat yang ada, memang menjadikan tempat ini terlampau istimewa.
Dalam Penantian, Desa Sinnaresmi
Dibawah langit mendung Kota Bandung, perjalanan ini dimulai pada malam jumat (25 April 2019) dan sampai esoknya. ATM Center yang menjadi saksi bisu persiapan, adalah meeting point pertama sebelum dihabiskannya enam jam perjalanan. Objek pertama yang kami kunjungi ialah Pantai Citepus, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Disana, kami mengobservasi keadaan morfologi laut, melakukan ploting tempat (memberi titik posisi observasi pada peta), dan mengindentifikasi karakteristik pantai Citepus (mulai dari jenis pasir sampai pada vegetasi yang tumbuh pada sekitaran pantai).
Kasepuhan Adat Sinnaresmi
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Kasepuhan Adat Sinarresmi; lokasi kami tinggal selama beberapa hari kedepan. Kasepuhan Adat ini merupakan salah satu kearifan lokal yang dilestarikan sekaligus realisasi program pembangunan Unesco Global Geopark Ciletuh. Abah Asep dan keluarganya, adalah salah satu pihak yang berperan lantaran telah menjaga tempat ini secara turun-temurun. Penduduk desanya yang someah serta patuh dengan budayanya adalah ciri khas yang membuat mereka unik. Disana, kami disambut dengan tabuhan lisung dan tarian adat. Diantara aturan yang harus dipatuhi apabila hendak menginap di tempat ini, adalah memakai iket (ikat kepala yang terbuat dari kain batik) bagi laki-laki dan kain batik (kain dililit dari pinggang sampai kaki) bagi perempuan.
Pemaparan materi dan penyambutan dari ahli staff bupati bidang pendidikan beserta jajarannya dengan pelestarian budaya adat kasepuhan sinnaresmi
Kasepuhan adat ini memiliki sebuah bangunan yang terbuat dari kayu dan bilik kayu. Bangunannya masih berupa panggung yang kokoh. Terdapat dua lantai, lantai satu untuk laki-laki, dan lantai dua untuk perempuan. Setelah berbenah, kami berkumpul di aula kasepuhan yang terletak di depan rumah kasepuhan. Acara selanjutnya yaitu pembukaan untuk tuan rumah dan seluruh pihak yang ikut bekerjasama dalam kegiatan ini, seperti BPBD, Dinas Kecamatan Cisolok, dan Abah Asep selaku warga lokal.
“Kasepuhan adat ini sudah didirikan semenjak zaman Rasulullah, oleh salah satu kakek buyut saya. Kemudian menjadi warisan leluhur saya dari generasi ke generasi. Sampai pada saya yang sekarang bertugas tetap mempertahankan Kasepuhan Adat ini hingga ke generasi selanjutnya. Terlebih lagi, kasepuhan adat ini masuk dalam program pembangunan UGG Ciletuh” tutur Abah Asep dalam sambutannya.
Selama empat hari kami tinggal di Kasepuhan, terdapat beberapa cerita tentang fasilitas dan makanannya. Sempat terjadi kesulitan air untuk kebutuhan mandi dan berwudhu. Kejadian itu mau tak mau membuat kami harus mengantri secara teratur, persis seperti santri yang tinggal di pondok pesantren. Soal makanan, Ambu (istri abah Asep) bersedia menyediakan makanan untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Ambu menyediakan makanan khas sunda seperti ayam kecap, sayur lodeh, nasi uduk, telur balado, ayam balado, dan lain-lain. Semuanya lezat. Terutama nasinya yang memiliki rasa yang khas. Rasanya lebih hambar, lebih padat dan lebih mengenyangkan dibanding nasi yang biasa kami santap di Bandung meskipun untuk porsi sedikit. Mungkin karena sistem pertanian disini yang berbeda dengan sistem pertanian biasanya. Disini, cara bertaninya dilakukan sekali dalam setahun. Namun, beras yang didapat sangat melimpah dan mampu menghidupi seluruh warga Sirnaresmi. Beras tidak diperbolehkan dijual, karena sudah dipatenkan untuk masyarakat Sirnaresmi sendiri. Sawahnya pun betul-betul bergantung pada alam. Maksudnya, benar-benar natural dan tidak menggunakan pupuk maupun pestisida yang dapat merubah struktur tanah dan sangat berpengaruh pada unsur zat hara.
Identiknya pocong membuat kami membuat spot foto yang bisa menyebarkan informasi kebudayaan atau tradisi, karena budaya harus selalu dilestarikan dengan salam lestari yang membumi
Pocong mungkin identikdengan hal menyeramkan tetapi pocong disini adalah hasil padi yang sudah dipanen lalu diikat dan dijemur dengan sistem pertanian desa sinnaresmi yang unik
Uniknya, mereka tidak memanen padi setelah betul-betul matang. Padi yang baru menguning, di panen dan kemudian diikat. Ikatan-ikatan padi tersebut disebut pocong. Pocong-pocong tersebut di gantung pada lantayan (semacam jemuran yang terbuat dari kayu) untuk dijemur selama beberapa hari. Pocong-pocong padi yang sudah kering diangkat, lalu dimasukkan ke dalam lumbung padi yang disebut Leuit, bentuknya seperti rumah-rumahan yang terbuat dari kayu dan bilik, ada yang berukuran kecil dan sedang. Leuit ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Setelah itu, biasanya akan dilakukan upacara adat sebagai rasa syukur atas panennya padi.
Meniti Jejak Bencana, Menyibak Stigma yang Meraja
Oleh: Yesi Sopariah
Desa Bojong
Hari kedua pelaksanaan KKL, kami berangkat dari Kasepuhan Adat menuju Desa Cicadas. Kami melakukan survey dan penelitian baik sosial maupun fisik di salah satu desa yang ada disana, yakni desa Bojong. Desa ini letaknya jauh dari jalan raya. Aksesnya terbilang sulit lantaran harus melewati jalan rusak yang sangat curam. Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk sampai kesana jika menggunakan mobil dolak. Perjalanan terasa mendebarkan, karena disuguhi oleh pemandangan jurang yang mengerikan dari sisi kanan dan kiri jalan.
Desa Bojong ini kabarnya memang berpotensi terjadi bencana longsor. Karenanya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah sudah melakukan evakuasi sebelum bencana terjadi. Sebagian besar rumah sudah kosong, karena sebagian warga sudah mengungsi dan mendirikan rumah baru di tempat lain. Tampak beberapa warga masih beraktivitas meskipun sudah mendapat peringatan. Pengamatan kami dimulai dengan instrumen kajian fisik, seperti struktur tanah, morfologi lahan, jenis batuan dan intensitas curah hujan. Dua hari sebelum kami datang kesini, kabarnya sudah terjadi gerakan massa yang mengakibatkan beberapa bangunan retak dan sebagian malah sudah ambruk. Ironisnya, meskipun secara fisik desa ini rentan akan bencana longsor, masih ada saja warga yang tetap memilih tinggal lantaran faktor keterbatasan secara materi.
Desa Cimapag
Hari ketiga pelaksanaan KKL tahap 1 Mahasiswa Pendidikan Geografi angkatan 2018 dilaksanakan di Desa Cimapag. Desa yang merupakan lokasi tempat terjadinya longsor pada 2018 ini, memiliki aksesbilitas yang cukup sulit. Sekitar lima kilometer kami berjalan menuju Desa Cimapag. Aspek fisik yang kami pelajari, adalah faktor penyebab terjadinya longsor di desa ini. Temuan yang kami dapat, yakni ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan morfologi lahan yang memang menjadi faktor utama. Desa Cimapag seharusnya tidak dijadikan sebagai pemukiman ataupun pesawahan karena struktur tanah dan batuan yang tidak memungkinkan untuk dijadikan pondasi bangunan.
“Tercatat 33 korban jiwa dalam kejadian bencana longsor tersebut. Satu diantaranya dinyatakan hilang, karena tidak berhasil ditemukan” tutur salah satu warga yang juga merupakan korban longsor. Dari 33 korban, lima diantaranya adalah anak-anak, 10 remaja, dan 18 orang adalah orang tua. Beberapa dari kami naik ke tempat terjadinya longsor untuk mengukur solum tanah. Sementara saya dan beberapa teman saya mengidentifikasi karakteristik fisik yang ada di daerah longsor yaitu sekitar puing-puing bekas pemukiman yang sudah rusak. Masih ada beberapa rumah berdiri dan hanya mengalami kerusakan ringan.
Pengarahan mengenai kebencanaan di Desa Cimapag yang terkena longsor dan pemberian materi instrument fisik sebagai analisis dampak terjadinya longsor
Nilai dan Pola Pikir Masyarakat
Masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Bojong, Desa Sirnaresmi maupun Desa Cimapag mempunyai latar belakang historis mengapa mereka tinggal di lereng gunung yang jalannya sangat curam dan jauh dari jalan raya. Alasan itu rupanya terkait dengan upaya ‘melarikan diri’ pada masa penjajahan silam. Konon, nenek moyang mereka melarikan diri ke daerah tersebut kemudian membuat sebuah kampung untuk bermukim, demi menghindari cengkraman para penjajah Belanda. Nilai lain yang patut dipahami, adalah pemahaman mereka terkait penggunaan lahan yang cocok untuk daerah mereka. Hanya saja, karena berbagai alasan sebagian wilayah terpaksa dijadikan lahan pertanian dan pemukiman.
Abah asep sebutan akrabnya merupakan ketua adat kasepuhan sinnaresmi beliau menyampaikan diskusi malam mengenai sistem pertanian yang alami dan berbudaya
“Leluhur saya berpesan, bahwa lahan yang ada disini itu tidak boleh dijadikan sebagai sawah. Namun karena faktor kebutuhan, maka kami bertani padi dengan sistem pertanian yang berbeda, yaitu cukup sekali dalam setahun.” Tutur Abah Asep.
“Lahan itu titipan dan tutupan. Kita jangan terlalu keras pada alam.” ujar Abah Asep. Namun, tetap saja sebuah kebutuhan hidup mutlak harus dipenuhi. Kepatuhan mereka terhadap adat, mirisnya tak jarang sebatas menghasilkan sikap pasrah dan berserah diri. Itu pulalah alasan mengapa mereka bersikeras tinggal meski sudah mendapat peringatan.
Kepulangan
Tiga hari sudah berlalu, saatnya kami pulang ke Bandung. Senin pagi (hari keempat), usai sarapan kami melaksanakan acara penutupan bersama Abah Asep Nugraha dan Ambu (istrinya) di aula kasepuhan adat. Kami mengucapkan banyak terima kasih dan juga permintaan maaf kepada Abah Asep dan Ambu. Kami pun menyerahkan beberapa sumbangan material yang sudah kami persiapkan bersama pihak ACT (Organisasi yang mensponsori kegiatan KKL ini) untuk diberikan kepada masyarakat desa Cimapag yang baru saja terkena bencana longsor. Tak lupa, pemberian sertifikat untuk para dosen pembimbing juga foto bersama dengan Abah Asep dan Ambu.
Perpisahan dan sesi foto bersama dengan Abah Asep dalam rangka penutupan acara KKL Tahap 1
“Selama anak-anak disini, saya sudah merasa seperti anak sendiri. Meskipun baru beberapa hari, tapi saya merasa sedikit kehilangan” Ucap Ambu. Suasana menjadi haru.
Sebelum pulang, beberapa perwakilan dari kami berangkat ke salah satu sekolah dasar untuk memberikan penyuluhan mengenai mitigasi bencana. Karena hal seperti ini mestinya diketahui sedini mungkin. Terlebih bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Tepat pukul 11.05 kami pulang ke Bandung.
Kuat, tabah, dan ikhlas mungkin itu adalah kata kata yang cocok bagi anak anak disana, mereka harus mengungsi dan lebih waspada ketika hujan mengguyur daerahnya