Oleh: Muhamad Abdul Azis
Jawa Barat Darurat Bencana Ekologis
Kalimat pesan itu terpampang pada sebuah poster yang dibagikan di grup chat KBPA BR, saya lalu cermati informasi tersebut. Pesannya suatu ajakan kegiatan untuk survey dan pemetaan spasial di Kecamatan Cimenyan dan Kecamatan Mandalajati Kelurahan Jatihandap, diskusi santai dan aksi serentak hari bumi.
Suatu kegiatan yang berjudul AADC? macam judul sebuah film romantis Ada Apa Dengan Cinta? yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastro Wardoyo, tapi AADC? ini bukan mempertanyakan cinta namun Cicaheum, Ada Apa Dengan Cicaheum?
Menyatakan bahwa “Ia (prakirawan BMKG Bandung Muhammad Iid Mujtahiddin) menyebutkan suhu maksimum pada 20 Maret yang tercatat paling tinggi 30,6 derajat celcius sekitar pukul 14.00 WIB. Dengan kelembaban relatif paling rendah sekitar 48 persen pada saat awal pembentukan awan cumulonimbus di siang hari sekitar pukul 13.00 WIB. Dari pantauan citra radar terdeteksi adanya pembentukan awan konvektif” seperti yang dikutip dari nasional.republika.co.id.
Pertanyaan pun mengiang dikepala saya, apakah hujan saja penyebab bencana itu? Lalu saya putuskan akan datang pada kegiatan diskusi (14/4/2018). Saya berangkat dari kampus Bumi Siliwangi menggunakan angkot Cicaheum-Ledeng lalu turun di jalan P.H. Mustofa dan melanjutkan dengan jalan kaki ke tempat pelaksanaan di SMKN 5 Bandung.
Beruntung walau kedatangan saya terlambat tapi kegiatan baru saja dimulai, kegiatan diskusi sesi pertama ini dihadiri oleh Chay Asdak, Ph.D dari Ilmu Lingkungan Unpad, Dedi Gejuy dari BP FK3I Jabar, perwakilan Kelurahan Jatihandap dan teman-teman mahasiswa dan siswa pecinta alam yang tergabung dalam KBPA BR.
Alih Fungsi Lahan di KBU
Chay Asdak menjadi pemantik pertama memaparkan tentang Hidrologi DAS, beliau menyampaikan bahwa “banjir Cicaheum bukan hanya banjir air tapi banjir lumpur dan jangan menyalahkan faktor hujan saja” tuturnya. Lalu menyampaikan hasil analisisnya tentang rusaknya perbukitan di Cimenyan karena kurangnya pepohonan kayu keras yang memiliki kemampuan mengikat tanah dan menyerap air sehingga air limpasan dan erosi tidak dapat dikendalikan.
Permasalahan drainase pun ikut di kritisi beliau karena drainase yang sekarang dibangun menggunakan sistem betonisasi yang menurutnya tidak efektif untuk menanggulangi masalah banjir “harusnya sistem drainase itu ditumbuhi tanaman dan dibiarkan alami (dinding sungainya)” ungkapnya.
Selanjutnya dipaparkan oleh Dedi Gejuy mengenai kawasan tangkapan air, beliau yang juga seorang aktivis lingkungan WALHI menjelaskan tentang Perda Jabar Nomor 2 tentang Pengendalian Kawasan Bandung Utara dan pelanggaran yang selama ini terjadi. “Kebutuhan lahan untuk pemukiman dan wisata komersil meningkat juga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota dan Kabupaten tidak dijalankan sesuai substansi Perda KBU” ungkapnya.
Menurut data yang dihimpun WALHI 78 % tanah yang dialih fungsikan menjadi perumahan dan wisata komersil tidak bersertifikat, serta belum adanya suatu kesepahaman bersama antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kota dan kabupaten, menyebabkan pihak korporasi begitu mudah mendapatkan izin pembangunan di KBU.
Earth Day is Everyday
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” surat Ar-rum ayat 41.
Bencana yang telah terjadi Cicaheum menjadi suatu tanda-tanda kekuasaan Tuhan semesta alam menjadi peringatan bagi manusia di masa yang akan datang, menghargai bumi haruslah sama seperti menghargai sahabat, kawan dan keluarga. Karena itulah harta yang kita miliki hari ini hingga masa depan menjadi warisan paling berharga bagi anak cucu kita, maka wajib bagi kita untuk menghargai bumi kita dengan penghargaan paling tinggi. Penghargaan itu pun jangan hanya diberikan pada hari-hari besar lingkungan saja tapi harus setiap hari, sebagai tanggungjawab kita sebagai putra putri geografi.
Salam Geografi? Lestari Bumiku!!!