Penulis: Ervika
Editor: Siti Hayati Zakiyah (1) Agus Salafudin (2)
Pemberian Penghargaan kepada Riki Ridwana selaku pemateri
Dugem (Duduk Gembira) merupakan program kerja rutinan Departemen Kerohanian yang dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam enam bulan, Dugem III kali ini dilaksanakan pada tanggal 07 Januari 2020 dengan tema “Harmoni dengan saling memahami dalam toleransi Bergama” bertempat di Labfis lantai IV, FPIPS UPI. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini dibagi menjadi dua sesi yang bertujuan menghadirkan keberagaman dan keterbukaan pemikiran dalam menghadapi sikap toleransi di dunia kampus maupun diluar kampus. Pada sesi materi, acara di moderatori oleh Indri Megantara dari Prodi Pendidikan Geografi 2018.
Pada pematerian pertama, materi mengenai toleransi dibawakan oleh dosen Departemen Geografi, yaitu Bapak Riki Ridwana, S.Pd., M.Sc. Beliau memaparkan mengenai hakikat yang sebenarnya dalam mengartikan toleransi dari perspektif islam. Toleransi sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar dan menahan diri atau membiarkan terhadap sesuatu yang terjadi. Dalam bahasa arab adalah tasamuh, as-samahah yang berarti konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Beliau memaparkan bahwa dalam menjalani hidup bertoleransi harus saling memahami dan mengerti ibarat mie goreng dan mie kuah; setiap orang memiliki selera dan kebiasaannya masing-masing – satu dengan yang lainnya tidak bisa saling memaksakan untuk mengikuti apa yang menjadi selera dan kebiasaannya kepada orang lain. Prinsip dalam bertoleransi terdapat pada Q.S Al-Mumtahanah: 8-9, mengenai keharusan terhadap setiap muslim untuk berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”). Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu).
Dalam bertoleransi, nabi Muhammad SAW telah menghargai dan membiarkan setiap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai ajarannya, hal ini dipraktikan nabi melalui piagam madinah yang pada saat itu nabi terdapat tiga agama samawi; Islam, Nasrani, dan yahudi. Toleransi dalam Islam adalah otentik, artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Permasalahan justru muncul ketika kaum munafikin yang sejak zaman nabi ada hingga saat ini terus menggerogoti islam dari dalam. Mereka merancukan konsep toleransi yang benar dalam islam, sehingga berdampak kepada kesalahpahaman antara nonmuslim terhadap muslimin yang berpegang teguh terhadap lurusnya keislaman mereka. Salah satu contoh gampangnya seperti pengucapan selamat hari raya kepada nonmuslim dibolehkan oleh orang-orang munafik di Indonesia, hal tersebut berdampak pada umat muslim yang tidak mengucapkan selamat natal dicap intoleran bahkan radikal, sehingga dengannya Kerukunan umat beragama di Indonesia yang dulunya rukun menjadi ternodai. Padahal jelas dalam QS. Al Ikhlas dan QS. Al Kafirun bahwa umat islam memiliki keyakinan untuk tidak ikut-ikutan dalam perayaan ataupun ritual agama lain, begitu juga umat islam tidak boleh capek-capek mengajak orang nonmuslim mengikuti perayaan umat islam. Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425). Logika mana yang bisa menerima bahwa mayoritas harus mengikuti minoritas, begitu juga sebaliknya umat muslim yang mayoritas di Indonesia tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada umat lain yang minoritas. Sehingga menjadi refleksi bersama adalah bagaimana bisa orang-orang muslim yang bekerja di tempat-tempat yang dimiliki oleh orang-orang nonmuslim memakai atribut-atribut perayaan hari raya mereka. Kalaulah toleransi itu dimaknai dengan benar maka setiap umat beragama akan saling menghormati dan menghargai serta tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
Pemberian Penghargaan kepada Listiana Habeahan selaku Pemateri
Untuk pematerian yang kedua disampaikan oleh Listiana Habeahan, S.Pd., dalam pematerian yang terakhir ini beliau lebih menekankan dalam pengalaman keseharian beliau terhadap nilai dan sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana dan apa yang harus dihadapi bilamana menghadapi lingkungan luar yang multikultural dalam memegang kepercayaannya. Beliau menjelaskan bagaimana toleransi sesungguhnya memiliki tiga hal pokok yang perlu kita pandangi yaitu; menenggang, pendirian, dan perbedaan. Dalam berkomunikasi dan bersosialisasi pasti terdapat yang namannya konflik, baik itu dari segi sosial, agama, maupun jabatan, dan sebagainya. Dalam menyuarakan sebuah keyakinan alangkah baiknya kita harus tahu forum dimana kita berada, bila seseorang berada pada forum pendidikan maka suarakanlah mengenai hal-hal yang berkaitan mengenai pendidikan, jika pada forum organisasi maka suarakanlah mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan organisasi, jika berada pada forum agama barulah kita dapat menyuarakan hal-hal mengenai keagamaan yang sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Toleransi itu indah bilamana dilakukan ditempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dan situasi yang tepat.
Pada dasarnya toleransi itu adalah usaha. Konteks menghargai adalah menahan diri untuk tidak mengganggu ruang pribadi kita masing-masing. Wujud toleransi dapat diimplementasikan dalam usaha dan menahan diri, dengan usaha yang terus-menerus konsisten. Perbedaan itu indah. Hal lain yang menarik adalah penyampaian sebuah caption “Untuk saat ini rasannya kurang tepat bilamana kita bertanya siapa dan apa yang salah. Karena semua masalah lucunnya tentang apapun pasti ujungnya menyalahkan iman. Sebaiknya atur lingkunganmu, batasi kata dan tulismu tentang iman, untuk saat ini cukup berpendapat kepada yang bisa menerima pendapat, berdiskusi dengan yang bisa diajak diskusi, jangan sampai bikin orang jadi sensi. Kita masih boleh berharap. Siapa tahu saja nanti ada masanya kita bisa saling terbuka menyampaikan pendapat tanpa debat atau berdiskusi tanpa emosi tentang iman”
Acara berakhir pukul 17:15 WIB dengan pemberian plakat kepada pemateri dan penutupan dari pemandu acara Reksi Iskandar (Pendidikan Geografi 2017). Harapan dengan diadakannya kegiatan Dugem III dengan tema toleransi ini ialah untuk menumbuhkan sikap toleransi, saling mengasihi dan menyayangi antar umat beragama dan menjadi mahasiswa yang open minded dan berjiwa religius.