Kuliah Kerja Lapangan II “Desa Pekasiran”

Penulis: Kelompok KKL 2 Desa Pekasiran

Editor: Graceldha Naoko Limartha

KKL 2 Hari Pertama

Pada hari pertama dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Tahap 2 Kami memulai penelitian pada pukul 08.00 WIB berangkat menuju destinasi pertama yakni Kantor Desa Pekasiran untuk melakukan wawancara dengan aparat desa serta Lembaga-lembaga yang ada di desa tersebut. Dalam wawancara tersebut Kami bertanya tentang hal-hal umum yang berkaitan dengan tema penelitian yang akan dilaksanakan pada KKL 2 dengan 6 sub tema yang telah disiapkan serta izin untuk mengadakan penelitian di desa tersebut. Dalam wawancara tersebut Kami mendapat berbagai informasi yang sangat bermanfaat dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Setelah melakukan wawancara dengan aparatur desa tepatnya pada pukul 10.20 WIB Kami melanjutkan penelitian berdasarkan sub tema yang telah dibagi sebelumnya menuju lokasi plotting yang sudah ditentukan.

FASILITAS DAN AKSESIBILITAS DESA PEKASIRAN

Berdasarkan hasil observasi lapangan hari pertama, berhasil mendapatkan beberapa informasi mengenai beberapa parameter dari Instrumen Fasilitas, yaitu terdapatnya 2 homestay milik warga yang bisa ditempati oleh para wisatawan, kemudian terdapat balai banjar milik pengelola seperti BUMDES (yang baru didatangi), pada wisata Telaga Dringo pun memiliki toilet yang memadai dan lahan parkir yang memadai untuk ±7 minibus, jalan desa dapat dikatakan memadai tetapi belum dikatakan cukup aman dikarenakan banyak jalanan yang berkelok serta berasa di tepi jurang ditambah tidak terdapatnya rambu lalulintas sehingga perlu berhati-hati saat melewati jalan, kemudian pada pengelolaan desa sebagian besar dikelola oleh tiap individu dengan cara dibakar dan yang terakhir tidak terdapatnya pasar induk pada desa, dan penjual bahan makanan seperti sayuran serta buah-buahan berada di pasar kaget atau penjual sering berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan.

Berdasarkan hari pertama hasil observasi pada kajian aksebilitas, kami mengukur dan mengamati 11 plot/jalan. Pada 11 plot/jalan terdapat 6 kondisi jalan baik, 1 kondisi jalan kurang baik, dan 4 kondisi jalan buruk. Kemudian terdapat 1 kendaraan umum yaitu minibus di jl. Pekasiran meskipun terbatas waktu hanya ada di sekitar jam 7.30-08.00 WIB, namun pada jalan yang lain tidak terdapat kendaraan umum. Selain itu tidak terdapat nama jalan pada beberapa plot/jalan yang kami kaji.

Doc. Penulis

PENGELOLAAN SUMBERDAYA WISATA

Telaga Dringo merupakan salah satu objek wisata yang berada di Desa Pekasiran, dikelola oleh warga lokal (bumdes) yang bekerjasama dengan perhutani, meskipun untuk pengelolaannya hanya dari warga lokal dan dari perhutani namun ada beberapa kebijakan yang sudah bagus diterapkan, namun ada beberapa permintaan yang masih belum terpenuhi. Silsilah dari Telaga Dringo tersebut yaitu sejak dulu kawasan tersebut dipenuhi oleh tanaman dringo, sehingga dinamakan Telaga Dringo. Manfaat tanaman dringo dipercaya dapat digunakan sebagai obat, ditambah dengan masyarakat yang masih menganut adat leluhur yang masih percaya dengan hal-hal ghoib.

Pihak pengelola dari bumdes sendiri memantau dan memelihara kawasan wisata secara 24 jam. Untuk pengelolaan baik itu dari dana dan yang lainnya belum ada bantuan dari perda, hanya ada pengecekan rutin per tahun. Untuk pengelolaan fasilitas seperti bangunannya (toilet, mesjid, gazebo, dan pos) juga hasil kerja masyarakat disana. Dilihat dari promosi media sosial sudah berlangsung lama sehingga sering ada kunjungan dari luar dan untuk wisatawannya lumayan banyak di hari biasa. Namun dari pengelola kurang inisiatif dan inovatif dalam melakukan promosi di media sosial, lebih mengandalkan inisiatif dari pengunjung. Selain itu, terdapat 5 titik lokasi di kawasan telaga dalam beberapa waktu menjadi titik urgent karena terdapat gas beracun, terlebih ketika hujan turun.

Dari pengelola sendiri sering bersosialisasi dengan masyarakat disekitar kawasan telaga ataupun semua warga desa yang dilakukan setiap lebaran atau hari agama islam 1 suro dengan melakukan sumbangan untuk yatim dan warga desa yang membutuhkan. Sumbangan tersebut didapatkan dari penghasilan penjualan tiket atau dagangan di warung sekitar telaga. Pengelola sering melakukan perluasan area secara fleksible jika banyak permintaan wisatawan untuk mendirikan tenda atau kegiatan camp, hal ini dilakukan sesuai perizinan karena terdapat beberapa faktor bencana seperti longsor dan pohon tumbang yang akan menyebabkan bahaya bagi wisatawan. Pada saat ini pengelola menyediakan sekitar 12 warga lokal yang biasanya menjadi tour guide bagi wisatawan yang membutuhkan.

Doc. Penulis

DAYA TARIK OBJEK WISATA

Berdasarkan observasi hari pertama untuk parameter unstrumen saya tarik objek wisata, kami baru bisa mengunjungi 1 objek wisata saja, yaitu Telaga Dringo. Jika dilihat dari keindahan lingkungannya, Telaga Dringo memiliki pemandangan alam yang indah, jika dipandang dari atas bukit, Telaga Dringo memiliki keunikan tersendiri yaitu berbentuk Hati. Namun seringkali di waktu-waktu tertentu pemandangan tersebut terhalang oleh kabut. Selain berbentuk hati, Telaga Dringo merupakan Telaga terbesar di Desa Pekasiran, setelah Telaga Sinila (Karena Kawah Sinila sudah tergolong tidak aktif, jadi bisa disebut sebagai Telaga).

Tingkat kebersihan lokasi objek wisata Telaga Dringo terbilang cukup baik, karena bebas dari polusi udara, bebas dari sampai yang menumpuk, dan memiliki tempat pembuangan sampah. Hanya saja, terdapat sampah bekas puntung roko dan plastik kecil di sekitar lokasi Telaga Dringo. Telaga Dringo juga merupakan objek wisata yang cukup aman, karena dilengkapi oleh pos pengawasan, terdapat petugas keamanan yang menjaga disana, terdapat rambu, dan juga terdapat pengarah wisata atau tour guide. Hanya saja lokasinya cukup sulit di jangkau karena terdapat di atas bukit, yang jika hujan maka jalan menuju kesana akan licin. Objek wisata Telaga Dringo merupakan objek wisata yang terbilang nyaman karena terbebas dari bau yang mengganggu, tidak ada lalulintas yang mengganggu, bebas dari kebisingan, dan memiliki udara yang sejuk. Telaga Dringo cocok untuk dijadikan tempat berkemah atau sekedar tempat untuk melepas penat meskipun Telaga Dringo bisa disebut sebagai objek wisata yang pasif karena hanya bisa digunakan untuk melihat keindahan atau berkemah saja. pada observasi di Telaga Dringo, kami tidak bertemu dengan wisatawan, sehingga kami tidak mendapatkan satupun responden.

Doc. Penulis

SOSIAL EKONOMI

Doc. Penulis

Dalam sub tema sosial dan ekonomi pada hari Jumat tanggal 04 November 2022, Kami melakukan wawancara kepada masyarakat Desa Pekasiran. Pada hari pertama kami berhasil mewawancarai 11 warga desa, adapun hasil yang di dapat ialah dalam mata pencaharian menurut data yang di dapat dari Kepala Desa Pekasiran bahwa sebanyak 85% masyarakatnya ialah bekerja sebanyak petani. Namun setelah kami lakukan wawancara kepada 11 orang tersebut tidak ada yang memiliki pekerjaan pokok sebagai petani, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pedagang, sopir transportasi, petugas desa dan ada juga yang tidak memiliki pekerjaan. Dari pekerjaan tersebut ada 4 dari 11 responden tersebut sudah bekerja selama kurang dari 5 tahun dan sisanya yaitu 7 responden sudah bekerja lebih dari 5 tahun bahkan 2 diantaranya sudah bekerja dengan pekerjaan tersebut lebih dari 20 tahun.

Doc. Penulis

Namun hampir semua responden tersebut sebelum menekuni pekerjaan saat ini 10 diantaranya bekerja sebagai petani, dan 6 diantaranya masih dijadikan sebagai pekerjaan sampingan dengan komoditas utamanya yaitu kentang, selain itu mereka menanam wortel, bawang, kol dan lain-lain. Dalam segi pendapatan kebanyakan dari pekerjaan pokok mereka bisa mendapatkan penghasilan dalam rentan Rp1.000.000 – 2.000.0000/ bulan. Namun ada juga yang kurang dari Rp1.000.000/bulan.

Namun dari pekerjaan sampingan yang mereka tekuni memiliki nilai penghasilan yang lebih besar dibanding pekerjaan pokok yakni lebih dari Rp. 3.000.000, bahkan ada yang bisa mendapat penghasilan kotor sebanyak 8 juta per bulan dari hasil pertanian kentang. Untuk lahan yang diolah oleh pertain tersebut rata-rata merupakan lahan pribadi dengan luas rata-rata sebanyak 250 m2 namun ada juga yang mengolah lahan orang lain dan ada juga yang mengelola lahan pemerintah seluas 1 hektar. Dari segi kepemilikan lahan rata-rata masyarakat Desa Pekasiran memiliki lahan 100-150 m2 dan luas bangunan sebesar 51 – 100 m2.

Doc. Penulis

Kemudian dalam sektor Pendidikan kebanyakan dari responden bersekolah sampai tingkat SD (7 orang), SMP (3 orang) dan SMA (1 orang), namun dari tingkat pendidik tersebut terdapat responden yang mampu meyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi bahkan sampai S1.

Doc. Penulis

Dari aspek budaya Desa Pekasiran memiliki beberapa budaya seperti japin, poksimoi, dan music tradisional angklung, selain terdapat pula upacara keagaman seperti rajaban, muludan dan Jumat kliwon. Dari budaya yang ada kebanyakan dari budaya tersebut hanya dijadikan sebagai tontonan masyarakat saja karena wisata yang ada di Desa Pekasiran lebih berorientasi kepada wisata fisik (alam). Namun kebanyakan dari penduduk Desa Pekasiran tidak bekerja dalam sektor pariwisata secara langsung, sehingga mereka banyak yang tidak mendapat sosioaliasi atau pelatihan terkait wisata yang ada di desa tersebut.

Doc. Penulis

KEBENCANAAN

Dari segi kebencanaan, kami sudah mewawancarai berbagai pihak, mulai dari Kepala Desa Pekasiran, Ketua BPBD Desa Pekasiran hingga Masyarakat sekitar Teloga Dringo. Ketika melakukan wawancara kepada Kepala Desa, informasi yang kami dapatkan bisa dibilang cukup untuk memenuhi berbagai parameter yang telah ditentukan. Hanya saja, agenda lain yang dimiliki oleh Kepala Desa Pekasiran, menjadi penghalang kami untuk mendapatkan informasi lebih mengenai kebencanaan di desa tersebut. Selanjutnya, pencarian informasi kami lanjutkan kepada Kepala Badan Penanggunalan Bencana Daerah (BPBD). Dalam wawancara tersebut, banyak informasi yang kami dapatkan mengenai Riwayat bencana di Desa Pekasiran, hanya saja, pembahasan mengenai bencana ini hanya mengarah kepada bencana yang sering terjadi di Desa Pekasiran, seperti longsor dan gunung meletus. Untuk bencana lainnya, belum sempat kami gali lebih lanjut karena waktu yang sangat terbatas. Hanya saja, kami berencana untuk menggali lebih lanjut terkait bencana lainnya pada esok hari dengan narasumber yang sama. Narasumber yang ketiga adalah masyarakat yang berada di sekitar Kawasan wisata Telaga Dringo. Untuk kawasan Telaga Dringo sendiri, bencana yang paling mungkin terjadi adalah kekeringan yang diakibatkan oleh minimnya mata air di daerah tersebut.

Doc. Penulis

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala desa, dari aspek ketersediaan air, desa ini memiliki sumber air utama berupa air pegunungan, sungai, dan sumber air lainnya. Air pegunungan digunakan untuk konsumsi air minum dan kebutuhan rumah tangga, sedangkan sungai, dan sumber air lainnya digunakan untuk kegiatan pertanian. Teknik penyaluran air di desa ini menggunakan PAM yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdes). Sumber air yang ada di desa ini berasal dari Legetang dan Gunung Cilik. Adapun sumber air potensial yang belum dimanfaatkan secara maksimal yaitu sumber air catisan, jampang, dan kerca. Sumber air tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal karena berada di bagian rendah desa sehingga sulit untuk di distribusikan ke tempat lain yang lebih tinggi, faktor lainnya yaitu masalah finansial dan alat yang masih kurang memadai. Untuk pengelolaan limbah yang ada di Desa Pekasiran ini dikelola oleh masing-masing atau dikelola secara perorangan seperti limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Untuk limbah berupa sampah plastik biasanya dilakukan pembakaran, sedangkan limbah organik biasanya diolah kembali menjadi pupuk. Sampai saat ini, sistem pengolahan secara terpadu mengenai pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah setempat belum dilaksanakan.

Hak kepemilikan tanah yang ada di Desa Pekasiran sebagian besar merupakan milik pribadi. Lahan di desa ini dimanfaatkan untuk sawah, perkebunan, peternakan, hutan dan pemukiman. Untuk pertanian sendiri ada pertanian kentang, wortel, kol, daun bawang, dan lain sebagainya. Untuk peternakan yang ada di desa ini adalah peternakan sapi dan domba. Bentuk lahan desa berupa dataran tinggi atau pegunungan. Sedangkan sumber daya alam yang ada di desa ini berupa gas, tanah yang subur, dan air terjun. Sumber pencemaran udara yang ada di desa ini di dominasi oleh kendaraan baik itu kendaraan roda dua maupun roda empat. Untuk kepemilikan kendaraan di Desa Pekasiran kurang lebih ada 1.600 motor dan kurang lebih 300 mobil.

Terdapat beberapa flora dan fauna yang ada di Desa Pekasiran yaitu rumput dringo, kapulaga, parijata, trembalungan, dan ungker-ungkeran. Sementara hewan yang hidup di desa ini yaitu macan kumbang, belibis, ikan endong, dan babi hutan.Pada objek wisata Telaga Dringo, kami mengetahui bahwa kawasan ini adalah hutan lindung dan memiliki tumbuhan endemik. Tanaman tersebut adalah rumput dringo yang menjadi asal dari toponimi daerah ini. Di kawasan wisata Telaga Dringo, sumber air berasal dari air hujan dan berdasarkan pemaparan pengelola saat kemarau air akan dimobilisasikan dari daerah desa menuju Telaga Dringo yang berada di atas perbukitan. Mobilisasi air ini dilakukan dengan menggunakan jerigen oleh penduduk. Adapun tampungan air hujan cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama 1-2 minggu dengan penggunaan air kurang lebih 500 liter /hari. Dari hasil observasi, air di kawasan wisata tidak berbau, tidak memiliki rasa, namun berwarna sedikit keruh. Selain itu, di Telaga Dringo terdapat fauna berupa ikan endong dan ikan jahir. Adapun hewan yang tinggal di kawasan ini adalah macan kumbang. Sementara flora yang hidup yaitu di antaranya pucuk merah dan cemara botani. Di samping fungsinya sebagai objek wisata, air dari Telaga Dringo juga digunakan sebagai sumber air irigasi perkebunan kentang.

Doc. Penulis

DAY 2

Doc. Penulis

Pada hari kedua dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan II, kami dari kelompok 3 memulai observasi ke lapangan pada pukul 08.00 WIB dengan menggunakan dua minibus yang berbeda menurut parameter yang dipegang oleh masing-masing anggota. Destinasi pertama yang dikunjungi oleh kelompok 3 yaitu Wisata Sumur Jalatunda yang berada di bagian Barat Desa Pekasiran, di sana kami melakukan penelitian dan wawancara kepada pihak pengelola, wisatawan, dan penduduk setempat yang sedang berkebun di kawasan Jalatunda tersebut, karena kawasan wisata Sumur Jalatunda ini dikelilingi oleh area perkebunan tanaman holtikultura seperti kentang. Kemudian penelitian kedua dilanjutkan menuju destinasi wisata Kawah Candradimuka dan Tanah Kejiwon yang berada di bagian Utara Desa Pekasiran. Adapun kegiatan kami disana masih sama halnya dengan lokasi wisata sebelumnya, melakukan observasi dan wawancara kepada pihak pengelola, wisatawan, dan penduduk setempat. Tanah Kejiwon ini memiliki jarak kurang lebih 1.5 km dari Telaga Dringo, untuk menuju wisata tersebut kami harus menaiki area perbukitan dan perkebunan penduduk setempat.

FASILITAS DAN AKSESIBILITAS
Pada hari kedua ini kelompok kami mengobservasi beberapa fasilitas yang ada di objek wisata Sumur Jalatundo, fasilitas-fasilitas tersebut meliputi, toilet yang memadai, namun hanya kurang terawat dan ada beberapa sarang laba-laba serta kotoran tikus.
Kemudian loket pembayaran yang ada di Sumur Jalatundo ini memadai dan rapi. kok sempat istirahat atau spot untuk melihat sumur kurang memadai karena atap yang berlubang, tidak ada yang kursi, dan kebersihannya kurang diperhatikan. lahan parkir objek wisata cukup luas bisa menampung >10 minibus.

Doc. Penulis

Akses ke arah sumur Jalatundo dapat dikatakan baik dikarenakan sudah dibangun tangga dan memiliki pegangan tangga yang terawat dengan baik. Selain itu terdapat tempat untuk beribadah (memberi sesajen) yang tidak jauh dari gazebo. Terdapat juga warung penjual namun hanya tidak optimal dalam hal pengoperasiannya, hanya dibuka ketika musim liburan.

Selain itu, kami juga mengobservasi fasilitas serta aksesibilitas dari Telaga Dringo, yang di mana memiliki fasilitas toilet sebanyak 4 buah, hanya dalam hal perawatannya kurang layak karena tidak terdapatnya lampu, kebersihan kurang diperhatikan dan satu kamar mandi tidak ada kunci, untuk loket pembayarannya pun kurang rapi dan kurang memumpuni. Selain itu lahan parkir juga berbatu dan menanjak sehingga kurang cocok. Terdapat 2 gazebo untuk istirahat yang rapi dan cukup nyaman. Juga terdapat terdapat satu warung yang tersedia.

Fasilitas dan aksesibilitas yang kami observasi selanjutnya adalah Kawah Candradimuka, yang di mana memiliki 2 toilet yang memadai hanya saja kebersihan kurang diperhatikan, lalu terdapat 2 gazebo untuk beristirahat dan melihat pemandangan dari atas, pagar masuk kawah kurang mumpuni dan loket tiket pembayaran tidak ada, sehingga menggunakan kursi biasa saja. Di sekitar kawah terdapat satu gazebo untuk melihat fenomena air mendidih. Di sana tidak terdapat warung tetap. Biasanya di Kawah Candradimuka ini sering dipakai untuk kegiatan peribadatan masyarakat sekitar, juga digunakan untuk pengobatan kulit alami.

Dan untuk fasilitas serta aksesibilitas terakhir yang kami observasi adalah Tanah Kejiwon. Wisata ini merupakan Wisata religi dengan akses jalan kaki dari loket Telaga Dringo sekitar 1km dengan kondisi jalan aspal 100m lalu 900m jalan tanah, kemudian memiliki 41 tangga tanah dan 17 tangga batu ketika dekat dengan makam. Lebar jalan 4 meter. Lalu disuguhi pemandangan alam yang indah seperti kabut dan kebun. Tidak ada toilet di makam, hanya ada bangunan rumahan untuk salah satu kuburan Pemuka Agama.

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA WISATA

  • Kawah Candradimuka

Objek wisata Kawah Candradimuka ini dikelola pemda dengan dikirim 1 orang pengurus. Kawah Candradimuka buka setiap hari, namun ramai di hari Jumat sampai Minggu di mana sebenarnya jam kunjungan objek wisata ini 24 jam. Kawah ini memiliki belerang yang terbuat dari sulfur sehingga aman dikunjungi hingga berjam jam. Selain itu, objek wisata ini juga mendapat promosi di media sosial seperti instagram dan youtube yang dikelola oleh pemda dengan akun channel (M Gojun). Pengelola melakukan promosi melalui media sosial, pemda juga sering sosialisasi kepada masyarakat setempat sebagai bentuk promosi. Promosi tersebut sangat berpengaruh pada jumlah pengunjung yang datang di mana pengaruhnya bisa mencapai 90%. Kemenarikan dari objek wisata ini dibuktikan dengan menikmati kawah secara langsung dan menikmati pemandangan alamnya, sedangkan untuk fasilitas hanya terdapat toilet dan tajuk pandang untuk menikmati pemandangan kawah tersebut. Untuk guide tour dan souvenir dari objek wisata ini sendiri belum ada, sedangkan pedagang hanya beberapa yang lewat dan berjualan di tempat tersebut.

Doc. Penulis

  • Sumur Jalatunda

Sama seperti kawah candradimuka, Sumur Jalatunda ini pun hanya dikelola oleh pemda (disparbud) dengan menyedikan 1 karyawan/pengelola untuk ticketing. Pengelola hanya berjaga selama 12 jam sehingga ada jam tutup dan buka. Dengan hanya tersedianya 1 karyawan menyebabkan tidak adanya guide tour untuk berkeliling di objek ini. Ditambah tidak adanya arahan dari pemda untuk menambah karyawan atau meminta tambahan pengurus dari masyarakat sekitar. Padahal sebagian penghasilan diberikan pula kepada desa. Sementara itu, fasilitas yang sudah tersedia cukup lengkap yaitu adanya area protokol kesehatan, tempat sampah, tempat berdagang, area parkir luas, tangga yang aman, tajuk pandang, toilet, dan lain-lain.  Sumur Jalatunda sendiri memiliki cerita mistis yang dipercaya oleh beberapa orang, dengan hal ini lah pengunjung berdatangan untuk melihat kemenarikan yang tersedia di objek wisata ini. Sumur ini muncul dengan sendirinya oleh faktor alam tanpa campur tangan manusia. Wisatawan yang berkunjung biasanya ada pada hari weekend. Adapun pengunjung membludak pada saat lebaran dan hari agama islam 1 suro bisa mencapai 1000 pengunjung dalam beberapa hari.

Doc. Penulis

DAYA TARIK OBJEK WISATA

Doc. Penulis

Hari kedua di Desa Pekasiran, kami menambahkan tiga objek wisata baru yang masuk ke dalam perencanaan penelitian kami, yaitu Tanah Kejiwan, Curug Ireng/Sigentong dan Batu Setapak.  Di hari Sabtu ini kami memiliki cukup waktu untuk mengunjungi tiga objek wisata seperti Kawah Candradimuka, Sumur Jalatunda dan Tanah Kejiwan/makom waliyullah.

Setelah melakukan observasi dan wawancara secara mendadak kepada pengelola, kami pun mendapatkan hasil dari skoring yang berpedoman di instrumen KKL 2, Candradimuka mendapatkan skor 21 sehingga menarik, Sumur Jalatunda mendapatkan skor 14 sehingga cukup menarik dan Tanah Kejiwon 12 sehingga cukup menarik. Di luar instrumen yang dijadikan pedoman, kami pun mendapatkan beberapa informasi menarik terkait wisata di Pekasiran, singkatnya Pekasiran ini merupakan tempat wisata zona 2 dalam sudu pandang spritual, sehingga banyak sekali wisata yang berkaitan dengan hal hal mistis maupun paranormal.

Selanjutnya, pada weekend ini kami mendapatkan beberapa narasumber wawancara dengan total 13 orang yang menjadi 3 kelompok masing masing. Jawaban wawancara relatif sama yaitu salah satunya tujuan berwisata sebagai bentuk healing untuk melihat pemandangan dan menikmati udara yang sejuk.

SOSIAL EKONOMI

Doc. Penulis

Dalam sub tema sosial dan ekonomi pada hari Sabtu tanggal 05 November 2022, Kami melakukan wawancara kepada masyarakat Desa Pekasiran. Pada hari pertama kami berhasil mewawancarai 11 warga desa, adapun hasil yang di dapat ialah dalam bidang sosial usia responden beragam diantara 21-67 tahun. Kemudian dari 11 responden semuanya beragama islam. Daerah asal responden pun beragam, terdapat 10 dari responden yang berasal dari desa pekasiran, lalu 1 dari 11 responden berasal dari Desa Dieng. Responden yang berasal dari Desa Pekasiran kebanyakan sudah tinggal di desa tersebut sejak lahir. Kemudian dalam sektor Pendidikan responden yang bersekolah sampai tingkat SD (4 orang), SMP (2 orang) dan SMA (2 orang), tidak sekolah (3 orang) namun dari tingkat pendidik tersebut terdapat 1 orang responden yang mampu meyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi bahkan sampai S1. Dari aspek budaya Desa Pekasiran memiliki beberapa budaya seperti japin, poksimoi, baridan, rudet, gedruk, angklung, tari doyak, pencak silat, dan drumband, selain itu terdapat pula upacara keagaman seperti rajaban, muludan dan baridan, jumat kliwon. Dari budaya yang ada kebanyakan dari budaya tersebut hanya dijadikan sebagai tontonan masyarakat saja karena wisata yang ada di Desa Pekasiran lebih berorientasi kepada wisata fisik (alam). Namun kebanyakan dari penduduk Desa Pekasiran tidak bekerja dalam sektor pariwisata secara langsung, sehingga mereka banyak yang tidak mendapat sosialiasi atau pelatihan terkait wisata yang ada di desa tersebut.

Kemudian dalam bidang ekonomi, mata pencaharian responden/masyarakat desa pekasiran didominasi oleh petani, sisanya ada yang bekerja di pariwisata, dan juga pedagang di tempat wisata. Dari pekerjaan tersebut, 2 orang bekerja kurang dari 5 tahun, 2 orang 5-10 tahun, 2 orang 10-15 tahun, 2 orang 15-20 tahun, 3 orang lebih dari 20 tahun. Untuk mata pencaharian sampingan para responden pedagang, karyawan sektor pariwisata, buruh, ojek, montir, YouTuber, dan ada juga yang menjadi petani sebagai mata pencaharian sampingan. Pendapatan dari pekerjaan pokok responden rata-rata Rp1.000.000-2.000.000. hasil tersebut didapatkan dari upah bertani di ladang. Pendapatan dari pekerjaan sampingan responden rata-rata Rp2.000.000-3.000.000. Untuk lahan yang diolah oleh petani tersebut rata-rata merupakan lahan milik orang dengan luas rata-rata sebanyak 2500 m2 namun ada juga yang mengolah lahan pribadi namun jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya sekitar 500 m2. Dari segi kepemilikan lahan rata-rata masyarakat Desa Pekasiran memiliki lahan 51-100 m2 dan luas bangunan sebesar 0-50 m2.

KEBENCANAAN

Dalam sub tema kebencanaan, kami melaksanakan pengamatan dan juga wawancara dengan pengelola kawah candradimuka dan Sumur Jalatunda yang berada di desa pekasiran. Hasil pengamatan dan wawancara di lokasi pertama yaitu Sumur Jalatunda, menurut pengelola bencana di daerah Sumur Jalatunda bisa dikatakan tidak ada bencana besar yang berarti hanya longsoran kecil saja yang terjadi disini, mungkin bisa dikaitkan dengan ketinggian elevasi di kawasan Sumur Jalatunda ini lumayan tinggi dan curam, maka dari itu terdapat longsoran longsoran kecil saja di kawasan Sumur Jalatunda sendiri.  Untuk hasil pengamatan dan wawancara di Kawah Candradimuka bencana yang pernah terjadi 10 tahun terkahir yaitu kebakaran hutan, angin besar atau puting beliung, dan embun es.

Bencana tersebut biasa terjadi disaat musim kemarau tiba, mulai dari bulan Mei hingga Agustus. Kawah candradimuka seringkali mengeluarkan gas-gas belerang pekat dikarenakan adanya pembengkakan dari pembangkit Geo Dipa Energy sehingga mengakibatkan kebocoran yang berpengaruh di kawah candradimuka. Untuk rambu-rambu keselamatan di Kawah Candradimuka sendiri terbilang lengkap dan ada petunjuk arah jika terjadi bencana.

Doc. Penulis

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Pada hari kedua, parameter daya dukung lingkungan melakukan observasi dan wawancara di beberapa tempat seperti di Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Telaga Dringo, dan gunung cilik. Pada metode observasi, kami melakukan uji kualitas, pengukuran temperatur dan pengukuran Ph air dari beberapa sumber air yang ada di Desa Pekasiran. Kawah Candradimuka memiliki beberapa mata air diantaranya yaitu tuk semar, tuk wase, benggala, dan sendang werdugolo. Untuk Ph air di kawah candradimuka berkisar antara 4 sampai dengan 6 dengan temperatur air berkisar antara 21 derajat sampai dengan 48 derajat Celcius. Adapun temperatur tinggi tersebut dikarenakan terdapat mata air panas di Kawah Candradimuka. Untuk kualitas, air di mata air candradimuka ini ada yang berbau dan ada yang tidak karena di kawah candradimuka memiliki beberapa mata air di mana mata air tersebut ada yang mengandung belerang dan ada yang tidak. Mata air yang mengandung belerang memiliki aroma seperti telur busuk sedangkan mata air yang tidak mengandung belerang tidak memiliki bau. Untuk warna pun ada yang memiliki warna sedikit kebiruan dan ada yang jernih. Mata air ini digunakan untuk pengobatan. Selanjutnya sumber mata air gunung cilik, untuk kualitas dari aliran sungai yang berasal dari mata air gunung cilik pun memiliki kualitas yang baik karena tidak berasa tetapi cenderung manis sedikit, tidak berwarna/jernih dan tidak berbau sehingga digunakan sebagai sumber air utama di Desa Pekasiran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga salah satunya yaitu untuk dikonsumsi. Temperatur air sungai yang berasal dari gunung cilik sekitar 19 derajat dengan Ph air 5,87 dan debit air 0,39 liter/detik.

Kemudian ada sumber air Sumur Jalatunda yang hanya bisa digunakan untuk pengobatan karena air tersebut merupakan air keramat dan tidak sembarangan orang dapat mengambil air tersebut. Untuk kualitas, air di Sumur Jalatunda memiliki warna kehijauan, dengan rasa yang berubah-ubah kadang asin dan kadang tawar, serta tidak berbau. Untuk Ph dan kualitas dari Sumur Jalatunda ini sulit untuk diobservasi karena keadaan sumur yang dalam dan tidak bisa diambil secara bebas.

Pada metode wawancara, kami telah mendapatkan data dari 7 responden yang merupakan pengelola wisata, warga lokal desa pekasiran,dan petani yang menggarap lahan di Desa Pekasiran. Terakhir sumber air dari Telaga Dringo yang memiliki warna kehijauan. Untuk kualitas, temperatur dan Ph air dari Telaga Dringo ini tidak bisa kami observasi karena akses jalan yang cukup jauh dan keadaan sekitar yang selalu berkabut sehingga mempersulit akses untuk mencapai air di Telaga Dringo tersebut. Dari 7 responden telah dapatkan hasil bahwa sumber air yang digunakan untuk kegiatan pariwisata di kawah candradimuka berasal dari tuk adem Semar di mana dalam air tersebut mengandung besi.

Kemudian untuk sumber air yang digunakan untuk kegiatan pariwisata di Sumur Jalatunda berasal dari gunung cilik di mana air tersebut dalam keadaan yang sangat jernih. Air Sumur Jalatunda itu sendiri tidak bisa digunakan untuk kebutuhan pariwisata, pertanian ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena air sumur tersebut merupakan air keramat di mana tidak semua orang dapat mengambil air di sumur tersebut. Sumur Jalatunda sendiri memiliki luas sekitar 12.500 meter persegi dengan kedalaman 125 meter. Selanjutnya, untuk sumber air yang digunakan di daerah pertanian sekitar Telaga Dringo berasal dari Telaga Dringo itu sendiri. Adapun kebutuhan air yang dibutuhkan oleh kegiatan pariwisata dan kegiatan rumah tangga di Desa Pekasiran berkisar antara 10 sampai 30 liter air per harinya. Jika air yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan wisatawan dan kebutuhan warga di Desa Pekasiran biasanya warga memiliki bak penampungan atau tangki air yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tersebut. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, jika sumber air utamanya kurang atau bahkan mengalami kekeringan maka akan mengambil air dari sungai-sungai terdekat sehingga kebutuhan pertanian dapat kembali terpenuhi. Untuk pengolahan limbah bekas wisatawan dan limbah domestik/limbah rumah tangga, biasanya warga desa membakar sampah atau membuang sampahnya ke kali karena di desa ini belum ada pusat pengolahan limbah yang beroperasi. Sedangkan untuk limbah organik hasil pertanian, biasanya dikubur di dalam tanah. Di Desa Pekasiran, kebanyakan warganya tidak membuat sumur air karena saat menggali, yang ditemukan bukanlah air melainkan gas beracun sehingga warga hanya memanfaatkan air PAM yang telah tersedia yang berasal dari gunung cilik.

Doc. Penulis

DAY 3

FASILITAS DAN AKSESIBILITAS

Pada hari ke tiga ini, parameter fasilitas dan aksesibilitas mengobservasi daerah akses objek wisata Tugu Lagetang, curug ireng, batu setapak, homestay jalatundo, dan dua masjid di  Desa Pekasiran. Pada objek wisata Tugu Lagetang ini, akses jalan yang di lalui cukup baik karena sudah dibuat dengan susunan batuan yang aman, namun sarana transportasi tidak cukup untuk masuk jika bukan kendaraan beroda dua. Untuk objek wisata Curug ireng ini akses yang dilalui oleh wisatawan dapat dibilang buruk karena akses belum memadai sedangkan objek wisata Batu setapak ini akses untuk dapat memasuki objek wisata tidak dapat ditemukan. Dan pada objek wisata Tugu Lagetang, Curug Ireng dan Batu Setapak ini, tidak ditemukan fasilitas-fasilitas pendukung objek wisata tersebut.

DAYA TARIK WISATA

Pada hari ketiga observasi parameter daya tarik kami mendatangi 3 tempat yaitu Tugu Lagetang, Batu Setapak, dan Curug Ireng. Tugu Lagetang sendiri merupakan tugu yang dibangun untuk memberikan tanda bahwa di tempat tersebut pernah ada sebuah pemukiman yang hilang akibat adanya longsor. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga sekitar Tugu Lagetang ini tidak dijadikan sebagai objek wisata melainkan hanya sebagai penanda peristiwa longsor tersebut. Tugu ini juga berada di sekitar wilayah perkebunan warga, yang dimana akses untuk menuju Tugu Lagetang sendiri harus melewati perkebunan warga.

Tempat kedua adalah batu setapak, namun pada saat melakukan observasi, kamu tidak menemukan keberadaan batu setapak tersebut. Beberapa warga yang kami wawancarai pun memberikan keterangan yang berbeda-beda. Sehingga menyulitkan kami untuk menemukan batu setapak tersebut.

Destinasi ketiga adalah Curug Ireng. Diberi nama Curug Ireng dikarenakan air yang mengalir pada aliran sungai tersebut berwajah hitam. Namun kami tidak melakukan observasi ke Curug tersebut, dikarenakan akses yang dituju sangatlah terjal dan sulit. Selain itu alternatif jalan yang diberikan juga harus melewati perkebunan kentang dan wortel milik warga.

SOSIAL EKONOMI

Dalam sub tema sosial dan ekonomi pada hari Minggu tanggal 06 November 2022, kami melakukan wawancara kepada masyarakat Desa Pekasiran. Pada hari ketiga ini kami berhasil mewawancarai 3 warga desa, adapun hasil yang didapat ialah dalam bidang sosial usia responden yaituada yang berusia 43 tahun, 52 tahun, dan 55 tahun. Dari 3 responden tersebut semuanya beragama Islam. Daerah asal responden ada yang berasal dari desa pekasiran dan di luar pekasiran. Dalam sektor pendidikan responden ada yang bersekolah hingga tingkat SD, SMP, SMA. Dari aspek budaya Desa Pekasiran memiliki beberapa budaya seperti dalam japin, poksimoi, baridan, rudet, gedruk, warok, lik-likan, angklung, tari doyak, pencak silat, dan drumband. Selain itu terdapat pula upacara keagamaan seperti Rajaban, Muludan dan Baridan. Dari budaya tersebut kebanyakan menjadi tontonan masyarakat saja karena wisata yang ada di Desa Pekasiran lebih berorientasi kepada wisata fisik (alam). Penduduk Desa Pekasiran tidak bekerja dalam sektor pariwisata secara langsung, sehingga mereka banyak yang tidak mendapat sosialisasi maupun pelatihan terkait wisata yang ada di Desa Pekasiran.

Dari responden yang kami wawancarai hari ini, mata pencahariannya ialah petani. Dari pekerjaan tersebut ketiga responden sudah bekerja di sektor pertanian lebih dari 20 tahun. Mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan, mereka hanya memiliki pekerjaan tunggal sebagai petani. Pendapatan dari pekerjaan pokok tersebut, 2 responden berpenghasilan dari rentang Rp1.000.000-Rp2.000.000/bulan, sedangkan 1 responden lainnya yaitu berpenghasilan sebesar Rp150.000.000/bulan. Beliau mendapatkan penghasilan sebesar itu karena beliau merupakan pemilik lahan pertanian yang luasnya kurang lebih 4 hektar. Sedangkan untuk 2 responden lainnya merupakan pekerja yang menggarap lahan pertanian seluas 4 hektar tersebut. Dari segi kepemilikan lahan bangunan, 2 responden memiliki luas lahan bangunan 101-150 m2 dengan luas bangunannya juga sama yaitu seluas 101-150 m2. Sedangkan 1 responden lainnya memiliki luas lahan bangunan sebesar 201-250 m2 dengan luas bangunannya sendiri 51-100 m2.

KEBENCANAAN

Dalam sub tema kebencanaan, di hari ketiga kami melaksanakan wawancara dengan Ketua BPBD Desa Pekasiran. Dari hasil wawancara hari ini kami mendapatkan informasi terkait kebakaran hutan, Cuaca ekstrem, Longsor yang terjadi di Desa Pekasiran.

Pertama, kebakaran hutan yang terjadi di Gunung Petarangan 2019 sehingga membuat seluruh lahan hutan habis terbakar dan sebagian lahan milik petani. Praduga masyarakat kebakaran hutan itu terjadi karena program pemerintah pusat yaitu program pemanfaatan hutan sosial. Kemungkinan terjadinya pembukaan lahan hutan di daerah Kabupaten Batang dengan cara dibakar. Menjadikan kebakaran hutan tersebut meluas sekitar 30 hektare ke daerah Gunung Petarangan di Desa Pekasiran. Termasuk hutan di daerah kawasan chandradimuka tepatnya di Gunung Cilik Gunung Pondok dan Gunung Nagasari habis dilahap si jago merah sehingga keseluruhan kebakaran hutan mencapai sekitar 200 hektare.

Cuaca ekstrem yang terjadi di Desa Pekasiran yaitu angin puting beliung dan embun es terjadi dikarenakan suhu udara yang sangat rendah dapat mencapai kurang dari 0 derajat pada bulan Juni-Agustus. Puting Beliung/angin kencang tidak begitu berdampak karena angin beliung yang dihasilkan tidak besar hanya saja angin cukup kencang tetapi dapat merusak lahan pertanian milik warga.

Longsor pernah terjadi di lahan perkebunan yang mengakibatkan para petani kentang, wortel, kol gagal panen. Hampir belasan hingga puluhan juta rupiah para petani mengalami kerugian materil akibat dari longsoran tersebut dan lahan garapan harus dikembalikan ulang untuk menanam tanaman holtikultura tersebut. Untuk daerah pertanian yang sering longsor antara lain di daerah Goa Jimat, Lagetang dan lainnya.

PENGELOLAAN WISATA

Pada hari ketiga observasi ke lapangan, kami mengunjungi objek wisata Batu Satapak, Curug Ireng dan Tugu Legetang. Ke tiga objek wisata tersebut merupakan objek wisata terakhir yang ada dan kami kunjungi di Desa Pekasiran. Objek tersebut ketiganya tidak memiliki pengelola sehingga ketiga objek tersebut terbuka dan dibiarkan begitu saja. Batu setapak saat dijumpai sudah tidak terawat dengan baik sehingga saat ini objek tersebut sudah tidak lagi menjadi objek wisata. Curug ireng memiliki keindahan yang masih alami namun memiliki akses terbatas sehingga curug ini hanya diketahui dan dikunjungi oleh petani dan masyarakat sekitar saja. Tugu Lagetang merupakan sebuah tugu yang terletak di tengah perkebunan warga, tugu ini menjadi tugu peringatan bahwa pernah terjadi suatu peristiwa yang cukup penting dan menjadi sejarah  bagi masyarakat pekasiran yakni longsor yang menewaskan masyarakat Dusun Legetang.

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Pada hari ketiga parameter daya lingkungan melakukan observasi yang di lengkapi wawancara pada beberapa tempat seperti di sungai legetang dan sungai ngerca. Pada metode observasi, kami melalukan uji kualitas, pengukuran temperatur, dan pengukuran Ph air di beberapa sumber air yang ada di Desa Pekasiran.

Sungai Gunung Lagetang merupakan air permukaan dari mata air Gunung Lagetang untuk pH air yang berada di sungai gunung lagetang yaitu 5,63 dengan temperatur 20,9 derajat celcius. Untuk kualitas air yang berada dimata air Gunung Lagetang ini tidak berbau, jernih dan tidak memiliki rasa.

Mata air ini digunakan oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari dan perkebunan. Kemudian terdapat sumber air di Sungai Ngerca untuk pH air yang berada di sungai gunung ngerca yaitu 5,85 dengan temperatur 23,4 derajat celcius. Untuk kualitas air yang berasal dari tuk ngerca ini berbau dan berwarna keruh kehitaman sehingga tidak dapat kami rasakan sumber air tersebut. Mata air ini digunakan oleh masyarakat untuk lahan perkebunan apabila dalam keadaan terdesak dikarenakan mengalami kemarau panjang

Selanjutnya mengenai wawancara yang mendukung metode observasi, kami telah mendapatkan 7 responden yang merupakan 2 petani di perkebunan Gunung Lagetang dan 5 masyarakat Desa Pekasiran. Pada petani yang berada di Sungai Lagetang pada perkebunannya menggunakan irigasi yang bersumber langsung dari mata air Gunung Lagetang. Namun, jika mengalami kekeringan menggunakan air dari sileri. Adapun limbah dari hasil perkebunan dibuang ke sungai dan sampah organik dikubur ataupun diolah menjadi obat herbal. Adapun hasil dari perkebunan Gunung Lagetang yaitu tanaman kol, wortel, kentang, dan carica.

Kemudian, hasil wawancara dari masyarakat Desa Pekasiran disekitar sungai ngerca yaitu masyarakat sekitar tidak menggunakan sumur dengan rata-rata menghabiskan air sekitar 20-50 liter air perharinya. Sampah yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dibakar  dan dibuang ke ladang ataupun sungai.