CATATAN PERJALANAN KKL TAHAP 2

Pesona dan Misteri Negeri di Atas Awan; Dieng

Oleh: Siti Hayati Zakiyah

Bukan Dieng namanya, jika sebatas pariwisatanya saja yang membumi. Bukan Dieng namanya, jika sekedar candi tanpa makna berarti. Bukan Dieng namanya, jika tak mampu menyibak misteri Kawah Sileri, bukan Dieng namanya jika tak sanggup menjadi satu-satunya tonggak hidup bagi warga dengan kearifan lokal sejati. Perkenalkan, namanya Dieng. Labolatorium kebencanaan Zona Serayu Utara dengan kompleksitas keindahan, keunikan, dan ancaman yang berpadu di dalamnya.

Minggu – Selasa, 28 – 30 April 2019 Mahasiswa Pendidikan Geografi UPI angkatan 2017 mengadakan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) tahap II bertempat di Dieng. Dengan membawa lima elf dari Bandung, perjalanan ini berlangsung hampir 15 jam melewati jalur selatan. Sebanyak 85 mahasiswa didampingi enam dosen pembimbing mengikuti kegiatan ini. KKL dengan tema Komparasi Bencana sebagai Upaya Mitigasi Bencana di Wilayah Dataran Tinggi Dieng merupakan salah satu agenda wajib bagi mahasiswa dalam rangka meningkatkan kualitasnya dalam menganalisis kebencanaan sebagai bekal pada masa mendatang.

Dataran Tinggi Dieng, sebagai dataran tinggi terluas di dunia setelah Nepal dengan ketinggian diatas 2000 mdpl merupakan kawasan vulkanik aktif (gunung api raksaksa) yang terbentuk dari kawah gunung berapi yang telah mati. Ia adalah bukti dari adanya letusan Gunung Api Purba yang terjadi pada masa silam. Keberadaan patahan dan pembesaran kaldera yang diwujudkan dengan adanya kawah-kawah dan telaga-telaga vulkanik, serta pemanfaatan energi panas bumi di beberapa titik-
titiknya, merupakan penguat bahwa kawasan ini memang tidak pernah luput dari desakan faktor kebencanaan. Alih – alih berbicara tentang ancaman di negeri di atas awan, kawasan ini memang tidak pernah absen dari segala faktor yang membuatnya eksotis bersahaja.

Masih Berdendang, di Kawah Sikidang

Rabu, 28 April 2019 kaki-kaki kami memijak tanah dengan kawah inkonsisten yang selalu berpindah tempat; Sikidang namanya. Ia adalah kawah dengan lubang fumarol yang senantiasa berganti lokasi, seperti rusa (kidang). Bukan tentang isu kebencanaan yang merambah sepertihalnya kawah lain, tetapi kawah ini selalu menjadi destinasi wisata bagi para wisatawan.

“Sikidang bukanlah kawah dengan intensitas CO besar, melainkan belerang yang lebih mendominasi” begitulah tutur Hendro Murtianto selaku dosen pembimbing saat melakukan ekskursi. Alasan itu pula yang mengakibatkan daerah ini ramai dan dapat dijadikan sebagai objek wisata.

Guratan dari batuan kapur yang tersingkap mencirikan bahwa daerah ini dahulunya merupakan laut dengan proses tektonisme yang terjadi berulang, mulai dari pelipatan-pengangkatan-dan patahan. Sementara itu, seantero kawah masih dijejaki oleh beragam aktivitas pengujung seperti swafoto, membeli oleh-oleh khas Dieng (olahan carica, kentang, cinderamata), melakukan flying fox, dan motor trail.

Pengarahan oleh Prof. Dr. Enok Maryani,MS tentang aspek sosial di Kawah Sikidang

Pembunuh Berdarah Dingin, Bernama Sileri

Masih di hari yang sama. Kaldera raksaksa purbakala bernama Sileri itu, rupanya masih sangat aktif dan beracun. Barangkali, itulah alasan para pengunjung dilarang mendekat lebih dari jarak 100 m. Catatan kelam kawah yang berhasil meluluhlantakkan setidaknya 117 warga pada 1944, memang menjadi memori buruk bagi warga Desa Jaweran. Mengerikannya, gas beracun tak dapat diidentifikasi lantaran secara fisik tidak berasap dan tidak pula berbau. Ia laksana pembunuh berdarah dingin, yang terlihat tenang tapi mematikan.

Apakah intensitasnya selalu tinggi? Tidak kok, begitulah tutur Hendro Murtianto. Menurutnya, Kawah Sileri memiliki kadar gas beracun yang berbeda-beda sesuai dengan gejala-gejala gempa bumi dan aktivitas tektovulkanisme yang ada di dalamnya. Ibarat buang angin, semakin besar energi yang dikeluarkan maka semakin besar pula intensitas gas beracun yang tersebar. Bagaimanapun, gejala tektonisme, vulkanisme, dan gas beracun adalah tiga hal yang saling berkaitan. Diantara wilayah dengan ancaman mengerikan, masih ada saja warga yang memanfaatkan bentukan patahan sebagai tempat wisata, yakni waterboom. Tak jauh dari sana, terdapat Geodiva (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) yang berhasil memekakkan langit dengan asap yang mengepul di udara.

Mengunjungi Rumah Para Dewa, Candi Arjuna

Oleh: Siti Hayati Zakiyah

Senin, 29 April 2019 langkah kami berhenti di salah satu kompleks Candi Dieng yang terletak tak jauh dari homestay. Namanya Arjuna, tempat ibadah tertua yang masih bertahan di Jawa sekaligus candi hindu terawal di Indonesia. Konon, dahulu ada sekitar 400 candi di kompleks Dieng ini, namun hanya 8 yang selamat. Arjuna adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita mahabharata. Parasnya yang menawan dan berhati lembut, seolah terepresentasi dari bangunannya yang tampak masih utuh dibandingkan empat candi lain yang berderet dari selatan ke utara, yakni Candi Srikandi, Candi Sembrada, dan Candi Puntadewa. Tepat di depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat Candi tentunya memiliki fungsi yang berbeda. Menurut Musa, (Pendidikan Geografi 2017) candi yang dibangun pada masa Mataram Kuno ini memiliki fungsi utama sebagai tempat ibadah, juga hermitage; tempat pelatihan para pendeta, sekaligus tempat mengasingkan diri untuk ritual peribadatan. Sebagai satu-satunya candi yang tampak utuh, Arjuna seolah menggambarkan kemegahan peninggalan Hindu sebelum ditinggalkan pada abad 10 M sebagai akibat dari kemelut politik yang berujung dengan pemindahan ibukota Mataram Kuno ke timur ditambah akibat letusan dahsyat Gunung Merapi pada saat bersamaan. Sementara itu, Candi Semar sebagai tempat pertemuan para pendeta, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan.

Foto Bersama di Kawasan Candi Arjuna

“Jadi disini adalah salah satu peninggalan Kerajaan Hindu, khususnya di Jawa. Itulah kenapa tempat ini juga disebut sebagai ‘Rumahnya Para Dewa’. Bentuk candinya yang soliter seperti prambanan dan tidak kompleks seperti Borobudur menjadi bukti bahwa arjuna merupakan peninggalan kerajaan hindu” tutur Abdul Syahid (Pendidikan Geografi 2017).

Saat ini, fungsi candi lebih dititikberatkan pada sektor pariwisatanya. Tiket masuknya yang hanya 15.000/orang adalah harga yang cukup terjangkau untuk pemandangan langka, seperti candi. Meskipun mayoritas penduduk beragama islam, namun kepercayaan semacam sesajen masih berlaku di masyarakat Dieng. Hal ini terbukti saat kami memasuki tubuh candi yang disebut yoni. Disamping itu, jendela candi yang membentuk bingkai relung arca juga masih diletakkan semacam sesajen.

Kunjungan ke BPBD Wonosobo
Oleh: Siti Hayati Zakiyah

Selasa, 30 April 2019 tepat pada hari terakhir pelaksanaan KKL, Mahasiswa Pendidikan Geografi angkatan 2017 mengunjungi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Wonosobo.Kegiatan dibuka oleh sambutan dari Wanjat Kastolani selaku dosen pembimbing.

“Kunjungan ini ditujukkan untuk mengetahui informasi sekaligus jawaban tentang Kawasan Dieng dan sekitarnya, bagaimana tantangannya, pegelolaannya, dan hambatannya. Sebagaimana kita tahu, Dieng adalah supermarketnya bencana” tuturnya.

Pematerian oleh Sumarno,S.Sos selaku sekretaris BPBD Wonosobo

Acara utama adalah pematerian dari Sumarno, S.Sos selaku sekretaris BPBD. Beliau membuka materinya dengan statement, bahwa geografi adalah mitra kerja yang paling dibutuhkan oleh BPBD. Secara umum, pematerian berkisar tentang kesiapsiagaan dan kebencanaan yang selama ini telah dilakukan BPBD dalam melakukan tugasnya. Menurutnya, pemerintah sudah terlibat aktif dalam berbagai kegiatan terkait kebencanaan yang terwujud dengan diadakannya beberapa program lintas sektor seperti Sekolah Madrasah Aman Bencana, Destana (Desa Aman Bencana), Mastana (Masyarakat Tangguh Bencana) yang pesertanya berasal dari lintas desa. BPBD telah berjasa dalam pengadaan tanda-tanda evakuasi bencana seperti titik kumpul, jalur evakuasi, dan lain-lain. Sayangnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, pengadaan rambu-rambu siaga bencana tak jarang malah menimbulkan ‘ketakutan’ di masyarakat utamanya terkait dengan sektor pariwisata. Pemahaman kebencanaan pada masyarakat, rupanya memang menjadi tugas besar yang harus diemban semua pihak.

Pemberian plakat oleh Prof.Dr.Wanjat Kastolani, M.Pd. kepada Sumarno, S.Sos sebagai cinderamata